infosepakbola24jam - Dunia sepak bola kembali dihadapkan pada sebuah putusan hukum yang berpotensi mengubah tatanan transfer pemain secara drastis. Kasus yang melibatkan eks gelandang Prancis, Lassana Diarra, telah menarik perhatian global dan dinilai memiliki dampak sebanding dengan Putusan Bosman tahun 1995. Gugatan Diarra terhadap FIFA dan Asosiasi Sepak Bola Belgia menuntut kompensasi sebesar €65 juta (sekitar Rp1,16 triliun) atas kerugian karier yang ia alami.
Perselisihan ini berakar pada peraturan transfer FIFA yang dianggap melanggar hukum Uni Eropa, khususnya terkait kebebasan bergerak pekerja. Putusan Pengadilan Kehakiman Uni Eropa (CJEU) pada Oktober 2024 yang mendukung Diarra, menjadi tonggak penting dalam sejarah hukum olahraga. Ini menegaskan bahwa peraturan federasi olahraga internasional harus tunduk pada hukum yang lebih luas.
Keputusan CJEU ini membuka babak baru bagi hak-hak pemain dan stabilitas kontrak dalam sepak bola profesional. Implikasinya bisa sangat luas, memaksa FIFA untuk merevisi regulasinya dan memberikan kekuatan tawar yang lebih besar kepada para pemain. Kasus Lassana Diarra menjadi sorotan utama bagi para pemangku kepentingan di seluruh dunia.
Kronologi Perselisihan Kontrak Lassana Diarra
Perselisihan kontrak yang melibatkan Lassana Diarra bermula pada tahun 2014, setelah ia menandatangani kontrak empat tahun dengan Lokomotiv Moscow pada Agustus 2013. Hubungan antara Diarra dan klub Rusia tersebut memburuk ketika Lokomotiv berusaha mengurangi gajinya secara sepihak. Diarra menolak pengurangan gaji tersebut dan menolak untuk berlatih bersama tim.
Akibat penolakan ini, Lokomotiv Moscow memutus kontrak Diarra pada Agustus 2014, dan kemudian menuntut ganti rugi sebesar €20 juta atas pelanggaran kontrak. FIFA Dispute Resolution Chamber (DRC) memutuskan Diarra bersalah dan memerintahkannya membayar denda €10 juta kepada Lokomotiv Moscow. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) pada Mei 2016, yang juga memerintahkan Diarra membayar €110.000 kepada CAS.
Sanksi dari FIFA dan CAS ini berdampak besar pada karier Diarra, membuatnya tidak dapat bermain sepak bola profesional selama lebih dari setahun. Ia bahkan gagal bergabung dengan klub Belgia Sporting Charleroi pada tahun 2015 karena kekhawatiran klub akan risiko hukum dan finansial. Sporting Charleroi menarik tawaran kontraknya karena Pasal 17.2 dari Peraturan Status dan Transfer Pemain (RSTP) FIFA, yang menetapkan tanggung jawab bersama bagi klub baru yang merekrut pemain yang melanggar kontrak.
Diarra berpendapat bahwa peraturan FIFA tersebut secara tidak adil mengganggu dan berdampak negatif pada perkembangan kariernya. Oleh karena itu, ia mengajukan gugatan terhadap FIFA dan Asosiasi Sepak Bola Belgia di pengadilan Belgia, menuntut ganti rugi atas hilangnya pendapatan. Diarra menyatakan bahwa perjuangannya ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk melindungi pemain-pemain muda yang tidak memiliki sarana finansial untuk menghadapi FIFA.
Perbandingan dengan Putusan Bosman: Dua Revolusi Hukum
Kasus Lassana Diarra memiliki kemiripan yang mencolok dengan Putusan Bosman tahun 1995, yang juga merupakan tonggak sejarah dalam hukum olahraga. Putusan Bosman, yang dikeluarkan oleh Pengadilan Kehakiman Eropa (ECJ), secara fundamental mengubah pasar transfer sepak bola. Kasus ini diajukan oleh Jean-Marc Bosman, seorang pesepakbola Belgia, yang menantang peraturan transfer yang membatasi kemampuannya bergabung dengan klub baru setelah kontraknya berakhir.
Sebelum Putusan Bosman, klub dapat mencegah pemain bergabung dengan klub lain bahkan setelah kontrak mereka habis, dan dapat menuntut biaya transfer. Putusan Bosman menghapus sistem biaya transfer untuk pemain yang kontraknya habis, memungkinkan mereka pindah klub secara bebas. Hal ini memberikan pemain kendali yang belum pernah terjadi sebelumnya atas karier mereka, memungkinkan negosiasi perjanjian yang lebih menguntungkan.
Ada kesamaan mendasar antara kasus Diarra dan Bosman karena keduanya berpusat pada kebebasan bergerak pekerja di Uni Eropa. Keduanya juga secara langsung menantang peraturan transfer FIFA yang dianggap menghambat hak-hak tersebut. Kasus Bosman berfokus pada pemain yang kontraknya habis dan klub yang masih menuntut biaya transfer.
Sementara itu, kasus Diarra berfokus pada peraturan FIFA yang membuat pemain dan klub baru bertanggung jawab atas kompensasi kepada klub lama jika kontrak diputus tanpa alasan yang sah. Kedua putusan tersebut menegaskan bahwa aturan olahraga harus mematuhi hukum Uni Eropa tentang persaingan yang adil dan hak-hak pekerja. Ini menunjukkan konsistensi dalam penegakan hukum Uni Eropa terhadap praktik-praktik dalam dunia olahraga.
Dampak Masa Depan: Perubahan Lanskap Sepak Bola
Putusan CJEU dalam kasus Lassana Diarra kemungkinan besar akan memaksa FIFA untuk merevisi Peraturan Status dan Transfer Pemain (RSTP) mereka secara signifikan. Perubahan ini terutama akan menyasar pembayaran kompensasi wajib bagi pemain yang mengakhiri kontrak tanpa alasan yang sah. Tanggung jawab bersama bagi klub baru dan pembatasan transfer Sertifikat Transfer Internasional (ITC) juga akan menjadi fokus revisi.
FIFA telah menyatakan bahwa mereka sedang bekerja sama dengan para pemangku kepentingannya untuk mengubah peraturan tersebut sesuai panduan CJEU. Peraturan yang direvisi perlu mencapai keseimbangan yang adil antara menjaga stabilitas kontrak dan memastikan perlindungan hak-hak pemain untuk bergerak bebas di Uni Eropa. Ini akan menjadi tantangan besar bagi badan sepak bola dunia tersebut.
Putusan ini akan secara fundamental menggeser kekuatan tawar dalam negosiasi transfer dan kontrak dari klub ke pemain, serta agen mereka. Hal ini berpotensi menyebabkan lebih banyak pemutusan kontrak dan ketidakpastian yang lebih besar atas biaya transfer di masa depan. Pemain mungkin dapat memanfaatkan putusan ini untuk berhasil memutus kontrak mereka tanpa dimintai pertanggungjawaban finansial yang berat.
Kasus Diarra juga telah memicu gugatan class action terpisah yang diajukan oleh yayasan Belanda "Justice for Players" (JFP) terhadap FIFA dan beberapa asosiasi sepak bola Eropa. Gugatan ini mengklaim bahwa peraturan transfer yang membatasi telah menyebabkan kerugian finansial bagi sekitar 100.000 pemain selama lebih dari dua dekade. Jika gugatan class action ini berhasil, dampaknya bisa mencapai miliaran euro dalam bentuk ganti rugi.
Secara keseluruhan, kasus ini telah meningkatkan pengawasan terhadap FIFA sebagai pembuat aturan yang mengatur diri sendiri. Putusan Diarra menunjukkan bahwa sepak bola sekarang harus bekerja dalam undang-undang ketenagakerjaan yang sama yang berlaku untuk industri lain mana pun. Hal ini dapat mengarah pada pendekatan yang lebih kolaboratif dalam pembuatan aturan, melibatkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk serikat pemain dan otoritas nasional.
0 Komentar